Meredam Konflik dengan Budaya

Rabu, Januari 04, 2017




Hidup bersama-sama dengan orang lain, tak bisa terhindarkan dari adanya potensi konflik yang mengancam. Akan tetapi, dengan manajemen yang baik, dengan kesadaran antar individu yang saling ditumbuhkan, dan dijaga keamanan dan kenyamanan orang lain, maka potensi ancaman konflik tersebut dapat diminimalisasi.

Konflik, dari sisi bahasa, berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Menurut Taquiri, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami.

Budaya lokal menjadi salah satu sarana pengelolaan konflik yang cukup manjur di negeri ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom).

 Sejalan dengan banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, bersamaan itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan dalam negeri sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi, seminar dan analis konflik. Namun demikian, penerapannya tidaklah mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-konflik yang tengah berlangsung di wilayah nusantara, baik konflik vertikal maupun konflik horisontal telah menimbulkan gangguan terhadap ketahanan bangsa dan negara karena cenderung melebar ke aspek-aspek kehidupan nasi-onal yang lain, di antaranya gejala pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa pada sebagian warga Indonesia.

Ciri kemajemukan bangsa dan wilayah negara kita yang berbentuk kepulauan harus diterima sebagai kenyataan objektif yang mengandung potensi konflik. Sumber-sumber konflik dalam suatu negara antara lain konflik separatis, perebutan sumber daya alam, persoalan SARA/etnisitas, kesenjangan ekonomi, kriminalitas, pengangguran, perang saudara, pemberontakan bersenjata, politik, dan sebagainya.

Indonesia juga memiliki potensi konflik lain yang dapat menimbulkan integrasi nasional, yaitu pontensi konflik antarsuku, agama, ras, golongan, pusat-daerah, sipil-militer, lembaga-lembaga pemerintah/negara, Jawa-non Jawa, penguasa-masyarakat, dan lain-lain. Selain itu, terdapat potensi konflik yang mewarnai implementasi otonomi daerah, seperti konflik antarpemerintah lokal (saling berbatasan), konflik-konflik antarkekuatan rakyat berbasis lokal melawan aparat pemerintah, konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan sebagainya.

Cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat. Salah satu contoh yang dpaat diketengahkan di sini adalah budaya Jawa.



Budaya “Alon-Alon Asal Kelakon”

Di Jawa Tengah, di antara kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang antara lain adalah budaya “alon-alon asal kelakon”. Budaya ini merupakan warisan leluhur yang sampai saat ini masih menjadi kekuatan. Cirisikap masyarakat Jawa adalah lamban dalam arti orang Jawa tidak menyukai serba tergesa-gesa dalam melaksanakan pekerjaan. Dengan sikap lamban keluarlah ungkapan yaitu alon-alon waton kelakon.Ada yang mengatakan ungkapan, yang hampir sama yaitu alon-alon asal kelakon. Alon-alon waton kelakon adalah suatu pekerjaan dilaksanakan dengan waton artinya aturan dan ketentuan yang berlaku. Konsep alon-alon waton kelakon merupakan sikap masyarakat Jawa yang mengutamakan keselarasan, keserasian dan keharmonisan seperti bunyi gending yang diiring dengan instrumen gamelan Jawa.

Budaya Jawa yang telah mengakar beratus-ratus tahun dan telah mendarah daging bagi masyarakat Jawa. Sikap masyarakat Jawa memilki identitas tersendiri yang dilandasi dengan nasihat-nasihat dari nenek moyang sampai turun temurun. Sampai sekarangpun masih tetap hidup di tengah-tengah masyarakat yang serba modern. Sikap hidup masyarakat Jawa jelas tidak terlepas pula dengan pandangan hidup atau filsafat Jawa. Di dalam kehidupan rohani yang menjadi landasan dan memberi dasar awal segala sesuatu. bahwa masyarakat harus tetap menunjukan hormat terhadap milik bangsa sendiri dan tetap teguh berakar dalam kebudayaan bangsanya. Hal ini sesuai dengan sikap masyarakat Jawa yang tetap teguh terhadap akar budaya Jawa yang telah berabad- abad hidup.



Budaya Sopan santun dan Saling menghormati

Dalam budaya Jawa, terkandung nilai untuk menghargai pendapat orang lain karena didasari bahwa semua orang mempunyai pendapat yang sama. Masyarakat Jawa senantiasa berusaha sopan dan menghormati orang lain. Dalam budaya Jawa terdapat aturan yang mengatur cara bersikap yang sopan dan hormat. Sikap seperti itu terutama dilakukan terhadap orang yang lebih tua, baik lebih tua dalam umur, urutan dari keturunan, urutan kepangkatan/kedudukan, maupun terhadap seseorang yang dituakan. Terhadap orang yang lebih tua atau dituakan, harus berbicara dengan suara yang rendah dan bahasa yang lebih halus (kromo). Perilaku harus lebih santun dan hormat, misalnya dengan sedikit membungkukkan badan. Bagi orang Jawa, melanggar aturan menghormati orang tua ini dipercaya akan kualat (mendapat hukuman dari Tuhan).

Tradisi luhur Jawa tersebut tentu menjadi kekuatan untuk meredam dan menyelesaian konflik. karena pada dasarnya kearifan tradisi lokal tersebut mengajarkan perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan. Oleh karenanya, menjadi sangat tepat upaya penyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan lokal. karena kearifan lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. (*)

Tulisan ini disarikan dari buku “Budaya Politik Jawa Tengah” yang diterbitkan Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah tahun 2015

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images