Makanan Halal

Jumat, Agustus 31, 2018



Soal makanan, bagiku, adalah salah satu persoalan yang cukup ribet. Aku orangnya susah makan sembarangan. Artinya aku harus memilih dan memilah makanan yang aku suka, baru aku memakannya. Di sisi lain, aku doyan sekali makan, dalam artian, diri ini tidak kuat menahan lapar terlalu lama. Pagi siang, sore atau malam aku harus makan. Harus rutin, seperti ada semacam alarm di perutku ini. Saat sudah waktunya makan, seolah alarm itu berderit dan keras sekali memanggil. Waktu harus makan kok sampai ditunda-tunda, maka otakku tak bisa lagi encer, pekerjaanku akan bergelimpangan tak tentu arah.

Ya, dalam bekerja, diri ini harus dengan perut terisi, pantang perut keroncongan. Dalam menulis misalnya, atau dalam mengerjakan laporan keuangan misalnya. Secara ‘dramatik’ otak ini akan berkolaborasi dengan perut. Bila di perut nyaman, alias ketersedian makanan di dalam perut terpenuhi, maka akan merambah di dunia otak, yang mana di sana akan bekerja ekstra untuk menyelesaikan tugas-tugas yang ada di kepala. Berbeda dengan ketika tugas menumpuk deras, tetapi perut keroncongan, alias kekurangan bahan makanan di dalamnya, maka otomatis, perut akan mengirimkan sinyal “tidak enak” dan dikirim secepat kilat ke otak. Akibatnya, otak akan “kering” dan males melakukan apapun, malas berfikir dan males mengerjakan pekerjaan apapun.



Berbicara soal makanan, sebagaimana di awal tadi, bahwa aku itu cepat “ngelih” tapi juga milih-milih dalam makanan. Dengan kata lain, aku tak mau dan tak lagi bernafsu dengan menu makanan yang tidak lezat. Menu-menu seperti nasi pecel, telur ceplok, sate kambing, nasi padang, sop, soto, gulai kambing, pindang, lodeh, lentog, bening pecel  lele adalah sederet makanan favorit sehari-hari.  Sementara menu-menu yang jarang aku sukai adalah sate ayam, sate kerbau, dan segala makanan yang super-super pedes.

Salah satu fokus persolan makanan yang kenapa di awal tadi aku bilang ribet, adalah persoalan Halal dan tidaknya jenis makanan itu. Well, sebagai umat muslim, aku sudah diajari sedari kecil untuk memilih makanan yang benar-benar Halal. Ini jelas-jelas sudah dipatrikan di otak dan hatiku sejak kecil di kalangan keluargaku oleh ayah ibuku, oleh kakek neneku dan oleh saudara-saudaraku. Tapi hingga kini, saya masih penasaran dengan makanan-makanan yang tidak Halal.

Penasaran seperti apa? Begini. Sedari kecil aku hidup di kampung yang mayoritas bahkan seratus persen muslim. Kemudian setelah dewasa pada masa sekolah, kuliah dan juga di saat kerja juga di lingkungan dengan mayoritas penduduk Muslim. Aku mulai mengecap rasa dan menghirup udara di kawasan Gerjen Nalumsari Jepara, sekolah kuliah dan bekerja di sekitaran Kudus – Jepara – Pati – Demak – Semarang. Daerah-daerah itu adalah daerah dengan penduduk mulim yang dominan.

Apa Kaitannya dengan makanan? Ya, daerah-daerah dengan penduduk muslim yang begitu banyak, otomatis akan memudahkan kita mendapatkan makanan-makanan yang Halal dan bergizi. Dengan kata lain, penjualan makanan di pinggir-pinggir jalan, di rumah makan, di restoran, di hotel di daerah-daerah dengan jumlah muslim besar, maka akan selalu mengedepankan kehalalan produk makanan yang diperjual-belikan. Hal itulah yang embuat diri ini mudah mendaoatkan makanan yang Halal di daerah yang sehari-hari aku lalui itu.

Baca: I S T I R A H A T

Kembali ke soal penasaran dengan makanan-makanan yang tidak Halal. Penasaran yang saya maksud adalah saya belum pernah mengalami sendiri keadaan dimana susah mendapatkan makanan tidak Halal. Pingin banget rasanya dolan dan “mubeng-mubeng” ke daerah yang minim muslim. Seperti di Eropa misalnya. Di sana, di daerah yang muslim minoritas, tentu akan sulit menemukan makanan yang halal, sulit mendapatkan restoran atau rumah makan yang Halal. Kadang merasa iri dengan Presiden Habibi, misalnya. Saat muda, diceritakan, ia menimba ilmu di Eropa, dan awal-awal sampai di sana ia membeli roti dan ternyata roti tersebut juga berisi daging babi, yang tentu saja roti itu tidak halal, tapi telanjur ia makan sebagaimana digambarkan dalam Film Habibi 2. 

Atau aku tertarik dengan cerita salah satu temanku, di mana saat ia melanglang buana sekitar dua bulan di luar Kamboja. Ia juga pernah keliru dengan roti yang dikiranya halal, tetapi juga mengandung babi. Atau cerita lain dari kolega-kolegaku yang berduit yang sering ke mancanegara, dimana saat  berlibur beberapa hari di Prancis dan sekitarnya. Saat aku bertanya bagaimana cara mendapatkan makana yang halal di sana, mereka menjawab ya memang memilih dari restoran yang ada logo Halalnya. Umumnya dari jawaban yang diceritakan saat itu, di Eropa sekarang sudah cukup banyak restoran Halal yang tersedia. Dan paling banyak adalah restoran dari negara Turki. Dari cerita tersebut dapat kusimpulkan, berarti beberapa hari di sana harus dipaksa dengan makanan Halal yang khas Turki sana, atau paling tidak makanan yang tidak sefamilier di bumi Nusantara.

Penasaran soal makanan yang tidak halal itu, membuatku sering berfikir bagaimana diri ini bisa menyesuaikan bila suatu saat harus berada di tengah-tengah minoritas muslim, di tengah-tengah daerah yang sulit mendapatkan makanan yang jauh dari rasa Indonesia dan jauh dari rasa halal. Penasaran-penasaran itu kadang sering menghantui kepalaku. Apalagi, sebagaimana di awal tulisan tadi, aku merasa diri ini susah untuk nahan lapar, dan susah untuk makan selain makanan favorit sehari-hari. Paling tidak semoga rasa penasaran ini, minimal dapat aku lalui dan dapat aku rasakan saat pergi ibadah Haji di Makkah dan Madinah, suatu saat nanti, Amin. Tentu saja bukan di tempat yang minim muslim, tetapi di sana, di daerah kanjeng Nabi itu, tentu banyak makanan yang jauh berbeda dengan makanan rasa Indonesia. Minimal aku harus merasakan suasana Haji (tentu saja berharap menjadi Haji Mabrur) dan merasakan suasana makanan di sana. Mumpung diberi kesempatan satu kali hidup di dunia ini. Semoga disegerakan pergi ke Makkah Madinah, kemudian touring ke Eropa, Amin. (*)


You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images