Menciptakan Sistem Sanad di Dunia Sosmed

Rabu, Januari 18, 2017



WAKTU dan dunia terus saja berputar tanpa lelah. Kejadian demi kejadian terekam dan terlewatkan begitu saja. Artinya ada hal penting dalam kejadian tersebut yang pada akhirnya diingat dan direkam penghuni dan pelakunya. Ada pula kejadian yang dianggap tidak penting dan kemudian dilupakan begitu saja. Tetap terekam, tapi sulit diputar kembali untuk diingat atau sekadar disebut kembali.  

Bagiku, zaman seperti ini, dimana era serba canggih, zaman dimana internet menjadi hal yang unggul dan difavoritkan, sosial media (sosmed) menjadi kebutuhan pokok yang “wajib”, adalah masa-masa “perubahan” besar. Zaman ini harus diingat dan direkam untuk kemudian diproduksi obat dan penawar untuk mengobati racun yang menjalar di era ini. Era globalisasi seperti sekarang ini geliat bertukar informasi dan literasi digital tak bisa dihentikan. Masyarakat seakan kecanduan dalam berselancar di dunia virtual itu. Membaca, men-share, meng-upadate, dan mem-posting, meng-upload suatu berita atau tulisan di dunia maya menjadi bagian dari rutinitas masyarakat dunia.  

Ini membawa implikasi yang luar biasa dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat. Pemanfaatan yang positif dari perkembangan teknologi informasi untuk membangun sistem dan tata nilai kehidupan manusia sudah banyak dirasakan. Namun, nyatanya, dampak negatifnya tidak kalah besar dalam merusak manusia. Salah satunya adalah dengan mudahnya berita hoax tersebar begitu cepat. Inilah racun yang harus segera dicari penawarnya. Pasalnya, tak hanya berita isu berskala lokal atau nasional, hoax bisa menyerang seluruh aspek kehidupan manusia. Isu agama, ekonomi, politik, kesehatan, dan isu lainnya tidak luput dari sasaran empuk pembuat hoax. Istilahnya, hoax ibarat bensin yang tersulut api, tidak hanya menyebar dengan cepat, tetapi juga mampu membakar apa saja yang ada di sekitarnya.

Masyarakat dalam hal ini biasa disebut netizen adalah subjek sekaligus objek dari sosmed. Ia bisa menulis apa saja, membuat gambar atau video apa saja kemudian dipamerkan di jagad maya. Tetapi jangan lupa ia “menikmati” dan “dipaksa” melihat apa saja yang ada di dunia maya tersebut.  

Menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia), jumlah netizen di negeri ini berjumlah 132,7 juta jiwa atau 51,1 persen dari total penduduk Indonesia. Adapun tiga besar sosial media yang paling banyak digunakan netizen Indonesia adalah Facebook dengan 71,6 juta pengguna (54 persen), disusul Instagram dengan 19,9 juta pengguna (15 persen), dan Youtubedengan 14,5 juta pengguna (11 persen). Sementara menurut situs statista.com, lima besar sosial media yang paling banyak digunakan netizen Indonesia berturut-turut adalah Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Google+.  

Data (APJII 2016) menunjukkan aktifitas yang paling banyak dilakukan oleh netizen adalah berbagi informasi dengan pelaku sebanyak 129,3 juta, diikuti dengan aktifitas berdagang dengan pelaku sebanyak 125,5 juta, dan aktiftas sosialisasi kebijakan pemerintah dengan pelaku sebanyak 119,9 juta. Demikian dapat dilihat bahwa netizen Indonesia adalah sebuah komunitas besar dengan jumlah lebih dari separuh populasi Indonesia yang selalu terhubung dan aktif berbagi informasi. Di sisi lain produksi dan menyebarnya hoax menjadi mudah dan seolah tak terelakkan.  

Dari aspek istilahan, konon, term hoax (Inggris) artinya tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung. Bisa dikatakan, hoax adalah  kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi. Hoax bukan singkatan tetapi satu kata dalam bahasa Inggris yang punya arti sendiri. Dengan kata lain hoax dapat didefinisikan “usaha untuk  menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu”. 

Kata hoax sebenarnya muncul pertama kali di kalangan netizen Amerika. Kata hoax didasarkan pada sebuah judul film yang berjudul The Hoax. The Hoax adalah sebuah film drama Amerika 2006 yang disutradarai oleh Lasse H., yang skenarionya ditulis oleh William Wheeler. Film ini dibuat berdasarkan buku dengan judul yang sama oleh Clifford Irving dan berfokus pada biografi Irving sendiri serta Howard Hughes yang dianggap membantu menulis. Banyak kejadian yang diuraikan Irving dalam bukunya yang diubah atau dihilangkan dari film, dan penulis kemudian berkata, “Saya dipekerjakan oleh produser sebagai penasihat teknis film, tapi setelah membaca naskah terakhir saya meminta agar nama saya dihapus dari kredit film. Itu mungkin disebabkan karna plot naskah tak sesuai dengan novel aslinya”.  

Sejak itu, film hoax dianggap sebagai film yang banyak mengandung kebohongan, sehingga kemudian banyak kalangan terutama para netizen yang menggunakan istilah hoax untuk menggambarkan suatu kebohongan. Lambat laun, penggunaan kata hoax di kalangan netizen makin gencar. Bahkan kabarnya kata hoax digunakan oleh netizen di hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. 

Ironis memang, penyebaran hoax saat ini tak hanya dilakukan orang awam, tetapi juga banyak yang berasal dari kalangan akademisi. Ada adagium yang menyatakan jika berita bohong disebarkan terus-menerus dan masif, lambat laun akan dipercaya masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang sangat responsif terhadap suatu fenomena merupakan peluang yang sangat mungkin dimanfaatkan orang tidak bertanggungjawab untuk menyebarkan hoax. (Harian Media Indonesia, Jumat 13 Januari 2017, 9) 

Melihat hoax yang begitu mudah meluncur dan berkembang biak di jagad maya ini, fitnahan dan mudahnya men-cap salah benar, bahkan men-cap kafir, bagiku mirip dengan masa-masa suram, terjadinya fitnah besar di umat Islam terdahulu. Saat itu sekitar tahun 37 Hijriyyah, dimana keguncangan umat Islam begitu besar akibat terbunuhnya Khalifah Usman Ibn Affan. Khalifah Ali Ibn Abi Thalib sebagai penerus kekhalifahan menghadapi situasi politik yang berat. Isu dan fitnah berkembang begitu mudah, dan puncaknya adalah terjadinya pertikaian perang saudara antara Sahabat Muawiyah, Gubernur Suriah dengan Khalifah Ali Ibn Abi Thalib, yang dikenal dengan perang Shiffin, di tebing sungai Furat, yang kini masuk wilayah Syria. 


Baca: Belajar Cinta Negeri dari Film Rudy Habibie

Perselisihan yang tak kunjung reda, membuat semakin masif isu dan fitnah yang beterbangan. Hal ini juga berimbas pada periwayatan Hadis Nabi, dimana sejak saat itu, umat Islam semakin selektif dan menanyakan sanad, dari mana periwayatan Hadis tersebut berasal. Kata sanad berasal dari bahasa arab, yaitu سند – يسند – سنودا و سندا  yang berarti ركن واعتماد  , sandaran dan pegangan (Manna’ al-Qaththan: 1992, 207). Bentuk jamaknya adalah asnad. Secara bahasa sanad juga berarti ماارتفع من الأرض فى قبل الجبال أو الوادى  atau puncak bukit. (Ibn Manzhur: t.th., XIII: 205) Menurut istilah, sanad dimaknai dengan jalan yang menyampaikan kepada matn (teks) hadis. Maksudnya, sanad adalah rangkaian perawi yang menukilkan teks hadis dari sumber pertama. (‘Ajjaj al-Khatib: 1989, 32)  

Kata sanad ini dipergunakan dalam istilah ilmu hadis karena makna sanad secara bahasa dipandang sama dengan perbuatan para perawi hadis dan atau ulama hadis. Seorang perawi yang hendak menukilkan sebuah hadis, biasanya akan menyandarkan sanad tersebut kepada perawi yang berada di atasnya (gurunya), demikian seterusnya sampai kepada akhir (puncak) sanad. Juga dikarenakan ulama hadis telah menjadikan rangkaian perawi hadis (baca: sanad hadis) sebagai pegangan atau sebagian syarat untuk menilai keshahihan hadis.
Menurut Menurut Muhammad Musthofa Al-Azami, sebenarnya, sebelum Islam datang sudah ada sebuah metode yang mirip dengan sistem pemakaian sanad dalam menyusun buku. Dalam sejumlah literatur di masa pra-periode Islam, metode sistem sanad ini telah digunakan secara insedental juga dalam periwayatan syair-syair pra Islam. Sejarah perkembangan sanad sendiri berjalan seiring dengan periwayatan hadis mulai dari masa Nabi hingga ke masa-masa berikutnya. Pada masa Nabi hadis disebarluaskan secara lisan oleh Nabi kepada sahabat dan bahkan dari sahabat ke sahabat yang lain. Sejarah sistem sanad dan penggunaannya dalam hadis telah ada sejak masa Nabi SAW. Hanya saja, pada masa Nabi SAW., sistem sanad itu masih sangat sederhana sekali dan masih belum sesempurna sekarang. 

Hal ini dikarenakan pada masa itu tuntutan akan adanya sistem isnâd yang ketat belum begitu dibutuhkan. Baru setelah terjadinya fitnah besar ini orang-orang pada waktu itu menjadi lebih berhati-hati dalam menerima hadis dan mulai mempertanyakan sumber informasi serta melacaknya sehingga, di akhir penghujung abad pertama Hijri, penggunaan sistem isnâd mulai berkembang secara pesat. (Muhammad Mustafa Azami, Dirâsât fi al-Hadits al-Nabawi wa Târikh Tadwînîh, 1992. 325-335) 

Dari peristiwa fitnah besar yang melanda umat Islam saat itu, bagi saya, salah satu hikmah penting yang harus direkam dan dicatat adalah kesadaran akan pentingnya sistem sanad dalam mengolah dan mengelola informasi yang datang, terlebih dalam menerima dan menyampaikan Hadis Nabi.   

Di era banjir informasi seperti sekarang ini, saya kira, salah satu konsep dalam memerangi hoax adalah dengan memodifikasi kembali sistem sanad yang telah diwariskan ribuan tahun lalu. Prinsipnya, adalah bagaimana kita harus mengelola informasi yang sampai kepada kita. Informasi yang datang, tidak serta merta langsung diterima mentah begitu saja, tetapi harus digali sumber awal informasi tersebut, syukur-syukur dapat diketahui rentetan siapa saja yang “meriwayatkan” berita tersebut. Dapat dipercaya atau tidak “perawi” berita itu. Hal-hal yang demikian menjadi sangat penting untuk disadari pada era sosmed seperti ini, dimana banjir informasi bagai banjir bandang, yang tidak jelas, mana berita fakta dan mana berita hoax. (*)

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images