FILM DAN KREATIVITAS YANG TAK PERNAH BERUBAH
Senin, November 05, 2018
Sebagai penyuka film, pengalaman
menonton film saya di waktu kecil dimulai saat mengenal nonton layar tancep di
lapangan depan balaidesa. Layar besar didirikan, dicagaki, mobil pengangkut
alat film, siap memutar film laga yang cukup terkenal di era itu. Mobil itu
dipenuhi dengan merk perusahaan rokok, yang paling sering di kampung adalah dari
PR Sukun. Di kampung yang berjarak sekitar enam kilometer dari pabrik rokok
yang didirikan oleh Mc Wartono ini, salah satu udud favorit warga adalah adalah
merk Sukun. Maka, tak salah bila desa Nalumsari ini sering disambangi dengan
pagelaran layar tancep dari PR Sukun, sambil tentu saja menawarkan produk baru ke
pengunjung. Biasanya, “pengumuman” yang disebar ke masyarakat untuk
memberitahukan event layar tancep ini, siang atau sore hari sebelumnya, mobil
ini akan berputar-putar ke kampung sambil mengumumkan melalui pengeras suara di
mobil tersebut. Lewat corong yang ada di mobil itu, diinfokan film apa yang
akan dipuatr malam nanti. Tentu saja, banyak yang tertarik dengan “halo-halo”
yang disiarkan tersebut, sehingga pertunjukan layar tancep akan selalu ramai
pengunjung. Ini karena, saat itu layar tancep adalah hiburan rakyat yang dinanti
kedatangannya, apalagi layar tancep mirip dengan nonton film di bioskop.
Bedanya, layar tancep adalah pertunjukan rakyat yang gratis, murah meriah, sementara
nonton di bioskop membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Pengalaman nonton film berikutnya melalui
televisi. Saat kecil, TV menjadi barang superlangka, dan hanya beberapa
gelintir yang memiliki. Saat itu, tukang pajek televisi, masih keliling dari
rumah ke rumah untuk menagih pajak bulanan bagi mereka yang memiliki televisi. Maka
sangat wajar, saat aku kecil, menonton film G.30 S-PKI yang “diwajibkan”
beramai-ramai di tetangga. Penuh dan sesak orang sekampung. Televisi saat itu
hanya memiliki satu channel TVRI, hitam putih pula. Baru saat aku menginjak
kelas 3 atau 4 SD baru ada channel TV swasta, semacam RCTI dan kawan-kawannya.
Film Favorit saat awal-awal ada channel RCTI adalah film Satria Baja Hitam.
Film ini diburu sepekan sekali (kalau nggak salah) sore hari usai sekolah
Diniyyah sore.
Perkembangan semakin banyaknya channel
dan semakin menjamurnya orang memiliki televisi, membuat televisi menjadi “virus”
bagi pendidikan dan pembelajaran anak-anak. Seperti HP di zaman now. Maka,
pinter-pinternya orang tua dalam keluarga membikin strategi agar keberadaan
televisi tidak menjadi ancaman yang mematikan bagi anaknya dalam ngaji dan
sekolah. Menonton televisi waktu dulu itu pun ada keunikannya. TVRI memiliki
kuasa penuh mengontrol televisi swasta. Setiap pukul 19.00 dan pukul 21.00 WIB
televisi swasta wajib menayangkan berita dari TVRI. Pukul 19.00 – 19.30 adalah
waktunya tayangan berita nasional, sementara pukul 21.00-21.30 adalah Dunia
Dalam Berita, yang menayangkan ihwal kejadian dunia. Maka, saat itu, pukul
21.00 adalah waktu terakhir untuk menonton televisi, sebab saat itu maksimal
menonton televisi di keluargaku saat aku kecil adalah pukul 21.00. Harus
dilanjutkan tidur, karena saat fajar tiba, usai Shubuh harus ngaji Al Qur’an.
Seiring dewasa, sekolah dan ngampus di
luar kota, pengalaman kian lebar. Bertemu sekaligus berinteraksi dengan banyak
macam “jenis” manusia juga membuat pengalaman nonton film semakin lebar.
Menonton film dari kepingan VCD menjadi pengalaman yang pernah juga aku alami. Menggunakan
“mesin” VCD player kemudian disambung ke televisi juga cukup populer di
kampung. Hampir setiap rumah memiliki VCD player ini, biasanya VCD player ini
digunakan untuk menyetel lagu-lagu kesayangan. Tidak hanya mendengarkan lagu
lewat audio saja, tetapi sekaligus melihat secara visual gambar tayangan klip
dari lagu itu melalui televisi. Sebelum “usum” VCD player, sebenarnya ada satu
alat memutar film. Tapi aku tidak tahu namanya apa. Alat ini mirip kaset pita
yang bisa disambungkan ke perangkat televisi. Bila kaset pita hanya memutar
audio saja, alat ini (kaset yang digunakan ukurannya lebih besar dari kaset pita)
mampu memutar audio sekaligus video. Mengenai alat ini, saya tidak memiliki
pengalaman menggunakan pemutar film ini.
Saat ngampus, menonton film sering
melalui desktop komputer. “Kaset” yang diputar di alat komputer itu adalah
film-film yang dikopi dari VCD atau dari flashdisk yang ditancapkan. Intinya
saat itu perputaran sumber film “file” begitu mudah. Bermodal flashdisk, atau
telepon genggam yang “berkualitas” maka film dapat dengan mudah dikopi dan ditonton
di komputer kita. Di saat itu pula, saya menjadi member di persewaan VCD di
Kudus. Ada beberapa persewaan langganan saya. Yang paling saya ingat adalah
persewaan di sebelah timur Proliman Kudus, di daerah Burikan. Dari sana saya
mengenal banyak film-film Hollywood terbaru dan berkualitas. Tentu saja, sebagai
penggemar Syahrukh Khan dan Katrina Kaef, film-film Bollywood juga tak pernah
ketinggalan.
Sejak memiliki laptop sendiri, saat sudah
magang bekerja, laptop itu saya isi dengan berbagai film kesukaan. Diantara
judul film yang ada di disk tersebut adalah film special Ada Apa dengan Cinta?
Dalam sejarah perfilman yang saya putar, film Dian Sastro Wardoyo ini menempati
rekor yang belum terpecahkan. Film ini telah ratusan kali saya putar melalui
laptop dan desktop. Hingga kini, terkadang saya masih memutar film yang diproduksi
tahun 2002 tersebut.
Di era mudahnya internet dalam genggaman
seperti saat ini, menonton film bagiku tak lagi menggunakan “kaset” dari VCD
atau file flashdisk , tetapi cukup melalui internet. Bermodal internet, sekarang,
menikmati film begitu mudah dengan berbagai judul film yang tersedia melalui
streaming di situs-situs internet. Tak perlu download terlebih dahulu, saya
lebih senang langsung menonton film dengan streaming. Selain mendownload itu
menunggu terlalu lama saat proses downloding, juga film memakan banyak “tempat”
di hardisk.
Dari cerita masa lalu itu, yang ingin
saya utarakan adalah hidup itu memang banyak berubah. Banyak perubahan dari lingkungan
sekitar, banyak dan kian cepat berubah media dan alat yang kita gunakan untuk
menunjang aktivitas kita sehari-hari. Tetapi dari sekian banyak perubahan yang
terjadi, ada banyak yang sifatnya tetap ajeg. Kreativitas dan ide cerdas adalah
salah satu contohnya. Meski dari dulu hingga sekarang perubahan media pemutar
film terus berkembang pesat, tetapi kreativitas dan ide cerdas untuk menemukan
gagasan dalam sebuah film itu tetap ajeg. Kreativitas itulah yang menentukan
apakah “produk film” kita diterima dan disukai atau tidak. Boleh jadi, alat
pembuatan film terus saja berubah, tetapi ide segar dan substansi yang ingin
disampaikan dalam pembuatan film itu tetap ajeg. Semakin unik dan semakin “tidak lumrah” menjadi nilai jual yang cukup tinggi.
Ini menjadi sesuatu yang dari dulu hingga kini tetap memiliki makna, tak
berubah. (*)
0 komentar