Obat Nyinyir dan Caci Maki Adalah Asian Para Games

Selasa, Oktober 09, 2018


Namaku Bulan Karunia. Saat ini usiaku 11 tahun. Selain bersekolah, aku juga selalu banyak kegiatan lain bersama teman-teman. Teman-temanku yang hebat, yang selalu bergembira dan penuh semangat mengejar cita-cita.
Ini kak Ahmad, sehari-hari dia fotografer handal. Terus, ada teman-teman di desa Bengkala, mereka biasanya saling memanggil nama dengan gerakan, seru. Juga ada kak Sate. Dia penyelam yang hebat dan suka menyelam di laut yang dalam. Kalau kak Sabar Gorki dia selalu bikin aku deg-degan. Kalau urusan main musik, Zizi adalah idolaku. Pengin sih, sekali-kali ikut nyanyi. Terus, ada lagi mbk Sri Lestari. Aku ingin seperti dia yang tidak pernah bisa diam untuk membantu teman-teman yang lain.
Seperti Karunia dalam namaku. Mereka ingin berpesan kalau kami semua diberi karunia-karunia istimewa oleh Tuhan. Pesan yang tidak ingin aku simpan sendiri, tapi ingin kami tunjukkan untuk semua orang. Pesan yang kini aku bawa untuk kusampaikan Kepada bapak Presiden.
Sebagai ucapan terima kasihku untuk mereka, juga rasa terima kasih kami yang selalu diberi kesempatan untuk menunjukkan kekuatan dan kehebatan kami.
Dan sekarang Bulan sampai di sini. Pak Jokowi ada dimana?



Itulah petikan dialog yang tersaji dalam opening Asian Para Games pada Sabtu malam (6/10/2018) di Gelora Bung Karno, Jakarta. Dialog sarat makna tersebut menjadi salah satu session opening yang mengharu biru. Bagiku menonton Asian Para Games akan semakin menumbuhkan kembali “rasa kemanusian” yang belakangan ini tergerus dan seakan hilang. Bahkan, bisa saja Asian Para Games ini menjadi obat penawar bagi mereka yang kecanduan dan suka sekali nyinyir dan caci maki.

Pada momentum opening Asian Para Games itu, Bulan Karunia Rudianti, gadis manis berkursi roda, hadir di tengah lapangan sambil memanggil dan melambaikan tangan untuk Presiden Jokowi. Jokowi pun turun dari panggung kehormatan dan mendatangi Bulan Kurnia dan berbincang sejenak. Jokowi kemudian menerima kotak dari Bulan, yang ketika dibuka muncul tulisan ABILITY berwarna emas.
Tak berhenti di situ, Jokowi juga menyempatkan diri mengambil busur dan panah. Bersama Bulan dan seorang lagi, Jokowi lantas mengarahkan anak panah ke layar raksasa. Kemudian muncul tulisan DISABILITY (arti: cacat) dengan tiga huruf awal "DIS" mendadak runtuh dan menyisakan ABILITY (arti: kemampuan).

Pesan yang ingin diusung dalam opening Asian Para Games, begitu mudah terbaca. Bukan melalui tulisan atau dialog, tetapi melalui adegan demi adegan dari awal hingga akhir pembukaan pesta olahraga difabel tingkat Benua Asia ini.

Ya, pesta olahraga atlet-atlet penyandang disabilitas tingkat Asia ini merupakan kali ketiga digelar. Sebelumnya, pernah digelar ajang serupa dengan nama FESPIC Games (Far East and South Pacific Games for the Disabled), sebuah multisporting event bagi atlet difabel yang pertama kali digelar pada 1975 di Oita, Jepang. Sejak dibubarkan FESPIC Games pada tahun 2006, akhirnya event atlet difabel ini disepakati dilaksanakan 4 tahun sekali dan satu paket dengan penyelenggaraan Asian Games. 
Asian Para Games pertama kali diadakan di Guangzhou, China (2010) dan disusul kemudian dilaksanakan di Incheon, Korea Selatan pada 2014. Kini, digelar di Jakarta selama satu pecan, tepatnya pada 6-13 Oktober 2018. 

Sejumlah 3.886 atlet dari 42 negara ikut serta dalam ajang bergengsi ini. Ada 18 cabang olahraga yang dipertandingkan dengan 568 nomor. Tentu saja, banyaknya nomor tiap cabang olahraga disebabkan karena para games punya nomor berbeda untuk mengklasifikasikan atlet sesuai latar belakang fisiknya. Cabang olahraga yang dipertandingkan adalah: panahan, atletik, badminton, boccia, bowling, catur, balap sepeda, goal ball, judo, bowling lapangan, angkat besi, shooting, renang, tenis meja, voli duduk, basket kursi roda, panahan kursi roda, dan tenis kursi roda.



Di luar pagelaran olahraga empat tahunan itu, sebagaimana sudah diketahui, masyarakat kita sedang dilanda mudah sekali menyalahkan orang lain, gampang nyinyir (suka mengkritik orang lain secara pedas, banyak bacot, ngomel, bawel), suka maido, bahkan mudah mencaci maki. Apalagi di era banjir informasi dan era teknologi  seperti saat ini. Hujatan, cacian tiap hari dengan mudah kita temui di dunia maya, di jagat media sosial internet. Sadar ataupun tidak, pelaku (orang yang membuat konten hujatan, cacian, konten nyiyir) ataupun pembaca, sama-sama sudah terpapar “virus negatif”. Bila terus menerus dibiarkan tentu pada akhirnya akan merusak. Merusak mental pelaku dan akan dengan mudah menular ke masyarakat luas sebagai pembaca dan “penikmat” konten-konten hujatan tersebut.

Salah satu faktor kenapa begitu mudahnya perilaku nyinyir dan mencaci maki orang lain adalah menganggap diri sendiri lebih “super” dari orang lain. Membanggakan diri secara berlebihan akan meningkatkan “rasa” sombong. Bila hal ini sedang mendera, maka akan sulit introspeksi terhadap diri sendiri. Akibatnya, diri sendiri cenderung mudah menyalahkan orang lain tanpa melalui dipikir dan ditimbang terlebih dahulu. Bila terus dibiarkan, seringnya menyalahkan pihak lain, akan mudah terserang “penyakit” caci maki dan menghina orang lain, karena mengangap dirinya selalu benar dan selalu “super”. Sementara lain orang dianggap “salah” “bodoh” dan “tidak pecus”. Budaya menghormati orang lain akan sirna, memanusiakan orang lain akan terkisis dan rasa kemanusiaan akan terus tergerus. Apalagi, bila saling menghujat dan mencaci maki ini, lumrah dan dipertontonkan secarai masif dan terus menerus di jagat internet, maka penyakit ini akan menular dan menjangkiti banyak orang.



Pagelaran Asian Para Games yang berlangsung selama sepakan ini, bisa menjadi jeda, sekaligus menjadi cermin bagi diri kita sendiri. Kenapa? Event yang mempertandingkan atlet disabilitas atau penyandang cacat ini, minimal bisa memberikan kita ibrah dan pelajaran. Ternyata banyak saudara-saudara kita yang memiliki fisik tidak sempurna seperti kita. Ternyata banyak dari mereka yang fisiknya kurang. Tidak bisa melihat, telinga tidak bisa mendengar, mulutnya bisu, tidak bisa bicara, tangan atau kakinya tidak sempurna untuk berjalan, adalah pemandangan yang bisa kita ambil pelajaran melalui event Asian Para Games 2018.

Dengan keterbatasan fisik, para penyandang disabilitas, ternyata bisa menjadi atlet dan ikut bertanding di kancah internasional, menjadi sorotan dunia di tingkat benua Asia. Bila menelisik ke dalam diri sendiri, belum tentu kita bisa melakukan sebagaimana para atelt disabiltas tersebut.
Sebenarnya, tujuannya dari Asian Para Games adalah untuk membangkitkan kepercayaan diri atlet penyandang disabilitas, sekaligus meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas melalui partisipasi dalam ajang olahraga, dan memperdalam nilai persahabatan antar-penyandang disabilitas.

Dengan demikian, saat kita tergerak hati ingin mencaci maki, ingin menghina pihak lain, ingatlah pagelaran Asian Para Games ini. Ingatlah saudara-saudara kita yang kekurangan fisiknya. Ingatlah bahwa masih banyak yang kurang beruntung dari diri kita. Apa untungnya mencaci orang lain, apa untungnya membully orang lain, yang ada hanya menambah masalah dan menambah perpecahan diantara kita sendiri. Yang ada hanyalah menutupi sisi kemanusian kita, yang telah dianugerahi Tuhan dengan kasih sayang, dengan cinta, dan dengan rasa persaudaraan. (*)



You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images